Sabtu, 20 Maret 2010

VBAC

Vaginal Birth After Caesarian ( Melahirkan Normal Setelah Operasi Cesar)


Tidak semua wanita ditakdirkan untuk melahirkan secara normal. Setidaknya pada jaman dimana melahirkan secara cesar menjadi salah satu alternatif yang dipilih baik dengan ada atau tanpa indikasi yang mengharuskan para wanita untuk melahirkan secara cesar.
Di bawah ini hanyalah catatan kecil saja yang mengingatkan saya untuk selalu berusaha semaksimal mungkin dalam segala hal.

Caesarian

Mengingat kembali peristiwa di akhir tahun 2003 dimana saya melahirkan anak laki-laki pertama melalui operasi cesar. Meski operasi ini adalah pilihan terakhir yang diambil, tapi mungkin, secara tidak langsung, sejak didiagnosa melahirkan cesar, di dalam hati dan pikiran saya memang yakin bahwa saya pada akhirnya harus menjalani operasi cesar. Entah mengapa saya percaya benar kalau sebuah sugesti yang tertanam akan berpengaruh pada kenyataan yang kelak terjadi. Seperti halnya yang terjadi pada kehamilan pertama ini.

Pada awal kehamilan, saya berada dibawah pengawasan seorang dokter kandungan wanita yang terkenal di kota Bandung. Kalau tidak salah, sampai usia kandungan sekitar enam bulan. Melalui pemeriksaan USG, letak janin terlihat sungsang, kepala dan kedua kaki berada di atas. Berdasarkan hal ini, dokter kandungan tersebut mengatakan bahwa pada intinya kelahirannya kelak harus dioperasi Caesar. Entah kenapa, dengan dokter yang satu ini rasanya kita tidak bisa tinggal lebih lama berada di dalam ruang prakteknya. Segan, malu, atau melihat cara dokternya berbicara yang seperti terburu-buru atau, mengingat antrian pasien yang panjang di luar sana yang membuat kita ingin segera keluar.

Terus terang saja, didiagnosa seperti itu amat sangat menciutkan nyali dan mungkin saja tanpa disadari tertanam di alam bawah sadar saya bahwa saya memang harus dioperasi Meskipun demikian saya tetap berusaha untuk memutarbalikkan diagnosa tersebut.
Setelah berdiskusi dengan suami, untuk pemeriksaan selanjutnya kami memilih pindah ke dokter kandungan lain. Untungnya, dokter yang satu ini bisa diajak berdiskusi. Meskipun benar letak janinnya masih saja sungsang, tetapi beliau masih bisa menenangkan pasiennya. Menurutnya, masih ada kemungkinan janin berubah posisi. Selanjutnya, saya disarankan untuk sering-sering melakukan posisi seperti sujud beberapa menit lamanya. Usaha lainnya, yaitu beliau mencoba untuk memutar posisi bayi dari luar. Hal tersebut dilakukan sebanyak 2 kali kunjungan dan tidak berhasil.
Alhasil, sampai menginjak bulan ke sembilan, letak janin masih dalam keadaan sungsang seperti semula. Meski demikian, beliau masih menyemangati saya kalau kelahiran normal masih dimungkinkan sepanjang tidak ada indikasi penyulit lainnya, misalnya berat bayi tidak terlalu besar, tidak pecah ketuban dini, kontraksi cukup kuat, dan lain-lain. Sampai saat itu, saya masih berharap dapat melahirkan secara normal.

Seingat saya, hari perkiraan kelahiran anak pertama kurang lebih bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Untungnya, beliau tidak ada rencana bepergian ke luar kota. Sangat melegakan karena saya malas harus berganti dokter lain dan harus mengulang cerita riwayat kehamilan dari awal.

Tibalah hari-H dimana saat itu masih dalam suasana hari raya Idul Fitri (Hari ke-4). Tanggal 1 Desember 2003, jam 10-an pagi saya pergi ke RS Borromeus ditemani suami dan Ibu langsung menuju kamar bersalin. Sampai waktu makan siang, masih bukaan-3. Setelah makan kemudian saya berniat untuk mandi, nah pada saat itulah terasa ada air keluar tak tertahan, ternyata itu yang dinamakan ketuban pecah dini. Langsung saya berbaring dan tidak diijinkan untuk turun dari tempat tidur. Sampai saat itu, saya masih bersikukuh ingin melahirkan normal. Namun demikian, saya juga harus mempersiapkan kemungkinan terburuk untuk menjalankan operasi cesar. Oleh karena itu, saya harus menjalani puasa karena butuh sekitar 6 jam puasa untuk bisa dilaksanakan operasi.

Sampai jam 9-an malam, dokter kandungan masih belum datang, bukaan pun tertahan di angka 7 dan bayi masih jauh dari jalan lahir. Selain itu kontraksinya pun kurang begitu kuat. OMG, rasanya mau marah setiap dilakukan pemeriksaan dalam. Selain sakit, koq ya diobok-obok sih. Akhirnya, dokter datang juga sekitar jam 10-an, dan langsung periksa semuanya. Setelah semua yang saya alami, dokter masih menanyakan apakah saya masih mau mencoba untuk induksi. Oh tidak, saat itu saya sudah angkat tangan untuk mencoba yang namanya induksi apalagi katanya yang namanya rasa sakit akibat suntikan induksi lebih hebat dari rasa sakit normal. Untungnya Ibu dan suami juga mendukung keputusan untuk melahirkan secara cesar (ibuku mantan Bidan dan Guru Bidan lo!).

So, akhirnya saya masuk ke ruang operasi seorang diri ( hiks, ga boleh ditemenin siy). Uuuuuuuuuh, dingin banget itu tempat tidur atau meja operasi ya?, yang pasti terbuat dari bahan metal. Asli dingin, dan ruangannya full AC, tambah dingin aja bikin badan menggigil. Entah gemetar karena takut. Pokoknya setelah dibius total langsung deh tidak ingat atau merasakan apapun. Tahu-tahu, susternya bilang, “Bu, bu, anaknya laki-laki, sekarang Ibu saya bawa ke ruang pemulihan”. Dari ruang pemulihan dipindah lagi ke ruang perawatan dan masih dalam keadaan setengah sadar.

Anak saya lahir sebelum tengah malam, masih tanggal 1 desember 2003, dan karena saya masih belum juga buang angin, baru pada tanggal 2 sore hari akhirnya saya diijinkan makan dan minum. Rasa yang aneh di bagian perut mulai dirasakan dan perlahan-lahan membuat saya tidak berani bangun dari tempat tidur bahkan untuk kekamar mandi sekalipun. Perih dan seperti tertarik ke bagian depan membuat saya benar-benar takut untuk bergerak, bahkan saya minta perawat untuk memandikan saya. Saat itu saya sempat berpikir, bagaimana mungkin ada wanita yang lebih memilih cara melahirkan seperti ini padahal dia bisa melahirkan secara normal, bahkan sampai bisa menentukan tanggal untuk dioperasi. OMG, meski saya harus mengalaminya, setidaknya saya sudah mencoba untuk melalui tahapan lain sebelum akhirnya memutuskan untuk dioperasi. Dalam hal inipun saya masih menganggap bahwa diri saya pengecut karena tidak mau melangkah ke tahap yang mungkin seharusnya dilalui terlebih dahulu (induksi). Memang sih, pada akhirnya sakit yang dirasakan jadi berlipat. Xixixixixi.


Vaginal Birth

Pengalaman di atas cukup membuat saya was was menyambut kehamilan yang kedua.
Namun, berdasarkan pengalaman di atas pula, saya menjadi jauh lebih waspada dan lebih meyakinkan diri untuk melahirkan secara normal.

Sebelum KB dilepas, saya mulai mempersiapkan hati, pikiran serta jasmani. Keinginan untuk melahirkan normal membuat saya seperti haus akan informasi. Pokoknya segala hal yang menyangkut kelahiran normal, terutama setelah sebelumnya melahirkan secara cesar jadi bacaan saya sehari-hari.
Sedapat mungkin saya berjalan kaki beberapa menit di pagi hari sebelum masuk kantor. Semua itu guna mempersiapkan kehamilan yang sehat.

Ternyata, hampir satu tahun lamanya sebelum akhirnya kehamilan kedua itu datang.
Kehamilan kali ini betul-betul terasa tiap tahapannya. Trimester awal yang ditandai dengan morning sick sampai trimester akhir dimana saya seringkali merasa kram di kaki dan mengalami rasa gatal yang luar biasa terutama di daerah perut, pinggul sampai betis, untungnya tidak di daerah muka.
Rasa gatal yang sungguh menyiksa karena bisa muncul tiba-tiba dan saya tidak bisa menahan untuk tidak menggaruknya bahkan kadang sampai berdarah dan meninggalkan bekas yang belum hilang sempurna sampai saat ini.
Letak rumah yang jauh dari tempat kerjapun pada akhirnya tidak bisa saya taklukkan. Lelah luar biasa yang saya rasakan membuat saya pindah untuk sementara waktu ke rumah Ibu yaitu ketika kehamilan memasuki bulan ke-6.

Dokter kandungan kali ini sama dengan dokter yang mengoperasi saya tahun 2003 lalu. Sudah sejak awal pemeriksaan, saya wanti-wanti untuk sebisa mungkin melahirkan secara normal. Dokterpun tidak keberatan karena kondisi kehamilan pertama tidaklah permanen dan sepanjang tidak ada penyulit lainnya. Mengingat riwayat melahirkan secara cesar, maka daftar penyulit pun bertambah dibanding dengan yang belum pernah mengalami operasi cesar. Ketuban pecah dini adalah a big no no dalam kasus ini. Why? Karena kalau pada kondisi normal, setelah ketuban pecah dan bayi sudah ada di jalan lahir biasanya disuntikan semacam penguat kontraksi (induksi). Sedangkan dalam kondisi saya, setiap tahapan harus betul-betul dilalui secara alamiah, artinya tidak boleh diintervensi oleh obat-obatan penguat kontraksi (CMIIW) ataupun lainnya. So, bye bye juga pada rumput fatimah dan yang lain sebagainya.

Selain berusaha menjaga asupan gizi (istilah lain dari makan lahap alias gembul hehehe.), Setiap hari tidak pernah lupa relaksasi sambil memasukan sugesti positif untuk melahirkan secara normal, lancar dan sehat. Dan memasuki bulan ke-8 mulai mengikuti senam hamil. FYI, dari beberapa tempat senam hamil, yang paling lengkap dan informatif (juga enak bubur kacang ijonya dan lumayan bagus bingkisan dari sponsornya) menurut penilaian saya adalah senam hamil di RS Borromeus. Tidak bermaksud promosi karena saya bukan agen yang dibayar, hanya saja, selain senam hamil, diajarkan pula metode relaksasi, hypnobirthing, pemeliharaan PD, cara merawat bayi, dll.


Ternyata hari-H tiba 1 minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tepat sehari sebelum saya cuti melahirkan, yaitu tanggal 13 Oktober 2010, jam 01.00 dini hari, saya sudah merasakan kontraksi yaitu berupa sakit yang menggigit di perut bagian bawah depan. Waktu itu saya masih berpikir untuk pergi ke klinik bersalin di pagi hari saja. Ternyata, kontraksi itu datang lebih sering meskipun belum sampai seperempat jam sekali. Akhirnya, jam 3 pagi, saya, suami dan lagi lagi ditemani ibunda tercinta pergi menuju klinik bersalin Tedja. Sebetulnya saya lebih suka melahirkan di rumah sakit besar dimana sarana dan prasarana medisnya lebih lengkap ketimbang di klinik bersalin. Namun, berhubung sekarang dokter hanya bisa berpraktek di 3 tempat saja, dan pilihannya hanya RSHS dan KB Zr Tedja akhirnya saya memutuskan untuk melahirkan di klinik saja.

Sejak dilakukan pemeriksaan dalam oleh bidan jaga, rasanya bukaan koq ga maju-maju. Rasa sakit yang nyelekit memang tidak begitu kentara kalau saya berbaring miring dan punggung sekitar tulang ekor ditekan-tekan. Tapi posisi ini juga sepertinya berpengaruh pada kemajuan bukaan dan kekuatan kontraksi. Yang saya butuhkan pada saat itu adalah kontraksi yang datang kontinyu dan kuat. So, akhirnya sayapun berjalan-jalan di sekitar klinik. Bolak-balik seperti setrikaan, jika kontraksi datang, saya langsung berhenti dan jongkok atau memegang kursi yang ada. Lama dan kekuatan kontraksinya memang berbeda dibandingkan kalau saya hanya berbaring saja.

Sampai hampir jam 5, bukaan masih bertahan di angka 7. Hwadoooh, lama banget sih masuk ke bukaan 9. Dokter kandunganpun masih sempat membantu pasien melahirkan di kamar sebelah. Selama itu, saya terus berdoa agar dilancarkan.

Kalau pada kehamilan pertama saya tidak sempat merasakan bagaimana tidak tahannya untuk segera mengejan. Nah, kali ini, saya betul-betul merasakan apa itu rasanya tidak BAB berhari2. hahahaahaha, betul2 tidak bisa ditahan untuk tidak mengejan. Pooooool, berasa sudah di ujung tapi tidak bisa dikeluarkan. Ya ampyun, betapa hebatnya ibu yang melahirkan kita.

Mungkin kelahiran inipun cukup sulit, seingat saya, saya mengejan lebih dari 5 kali dengan posisi berbeda-beda., dari mulai posisi setengah berbaring kaki diangkat ke arah dada sambil dipegang kedua tangan, posisi berbaring kaki ditekuk pergelangan kaki dipegang kedua tangan, lalu posisi berbaring sambil miring ke-kiri, dan posisi lainnya yang saya tidak ingat sampai-sampai saya merasakan kram di kaki.

Kuncinya ada pada saat mengejan. Seharusnya setiap datang waktu mengejan (2 x tarikan), tarikan ke-1 jika belum cukup kuat harus dibantu dengan tarikan ke-2. Nah, saya selalu kalah tenaga pada tarikan ke-2, sehingga kepala bayi belum juga bisa keluar. Hingga akhirnya, saya ingat betul kalau pada saat itu yang ada di pikiran saya adalah kesehatan bayi akan terganggu jika terlalu lama berada di jalan lahir, saya pun mengejan sekuat tenaga yang tersisa, bahkan saat bayi keluar dan air ketuban muncrat kemana-mana pun saya masih tetap mengejan, padahal pada saat itu bidan yang mendampingi dokter sudah mengatakan pada saya untuk berhenti mengejan. Alhamdulillah, akhirnya anakku lahir juga beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang.

Rasa sakit karena kontraksi mengalahkan segalanya. Pada saat di-episiotomi waktu bukaan 9 datang, saat bayi keluar, dan pada saat dijahit, sama sekali tidak terasa.

Sayangnya Inisiasi Menyusui Dini tidak bisa dilakukan sampai tuntas. Hanya beberapa menit bayiku diletakkan di atas perut, setelah bergerak sedikit bayiku segera diangkat karena kelihatannya dia membutuhkan oksigen. Mungkin terlalu lama di jalan lahir. Mudah-mudahan tidak berpengaruh apapun pada kesehatannya kelak.

Memang aneh bin ajaib, Kuasa Allah sungguh nyata. Perbedaan nyata yang saya rasakan antara melahirkan dengan operasi dan normal. Melahirkan secara normal memang sudah kodratnya para wanita, dan itu semua sudah diatur sedemikian rupa oleh yang Maha Kuasa. Tidak lama setelah bayi sudah keluar, rasa haus yang amat sangat diobati dengan segelas the manis hangat dilanjutkan dengan makan malam yang nikmat. Lelah luar biasa baru dirasakan ketika dipindahkan ke ruang perawatan. Badan terasa amat lelah tapi hati dan pikiran rasanya lega dan senang.

Manusia memang hanya bisa berusaha, hasilnya ditentukan oleh-Nya. Melahirkan secara Cesar ataupun normal hanyalah pilihan semata dimana tujuan akhirnya adalah melahirkan titipan-Nya yang harus dijaga sebaik mungkin. Saya pribadi mengucap syukur tiada terhingga karena diberi kesempatan merasakan kuasa-Nya dengan jalan yang berbeda.

Semoga kelak kedua anak laki-laki titipan-Mu ini berahlak mulia, membawa keselamatan dunia-akhirat, berguna bagi keluarga, Nusa, Bangsa dan Agama. Amien.

Next: ASIX

Tidak ada komentar: